Sunday, October 6, 2013

Serigala dan Tiga Babi Kecil




Hari ini benar-benar cerah. Penuh dengan cahaya matahari yang bertaburan dengan sebagian isinya merupakan awan.  Aku terlentang dibawah pohon. Terlentang menghadap langit, memandangi langit dan awan. Ada beberapa awan yang berbentuk seperti paha ayam sehingga membuat rasa laparku terasa hingga akhirnya aku memutuskan untuk berdiri. Pergi mencari makanan.
Aku menengok ke kiri dan ke kanan, melihat apakah ada sesuatu yang bisa dimakan. Hingga pada suatu tempat aku melihat 3 babi kecil yang sedang bermain di taman. Dengan pelan aku mendekati mereka sambil memikirkan betapa lezatnya daging mereka. Aku terus merangkak. Sampai pada beberapa meter di depan mereka, salah satu dari tiga babi tersebut berteriak. “Serigalaaaaaa!” katanya sambil berlari. Dua babi lainnya menoleh dan menatap mataku. Kami saling melihat. Dua babi gemuk didepanku. Dengan cepat mereka berlari dengan sekencang-kencangnya. Mereka bertiga berlari ke arah yang berbeda. Hal ini membuatku berpikir sejenak, babi mana yang harus kukejar terlebih dahulu.  Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung mengejar salah satu dari mereka, yang manapun tidak apa lah, yang penting hari ini bisa makan.
Dengan kecepatan paling tinggi aku mengejar babi paling kecil. Tentu saja aku mengejar yang paling kecil, larinya pasti paling lambat. Dia berlari kencang. Kencang sekali dan tidak menoleh ke belakang sekalipun. Aku berada sekitar 10 meter dibelakangnya. Dia berlari menuju rumah. Rumah yang besar dengan tembok kekar. Dia membuka gerbang, bodohnya, aku akan masuk juga. Kupercepat lariku, dia sudah tidak nampak, berada dibagian dalam rumah dan menutup pintu rumah. Gerbang terbuka namun pintu sudah tertutup. Apa yang bisa kuperbuat saat ini. Apakah aku harus masuk dengan mendobrak pintu.. tidak, hal itu akan nampak tidak elegan. Hingga akhirnya aku mundur beberapa langkah sehingga kembali ke gerbang. Gerbang dari rumah babi paling kecil. Mundur lagi untuk melihat rumah itu, mungkin saja ada celah yang bisa aku masuki. Mundur lagi, sampai tersadar bahwa ada tiga rumah berjejer di sana. Aku tau pasti, dua rumah lainnya pasti milik babi yang lain.
Rumah ketiga babi itu berbeda-beda. Rumah babi terkecil terbuat dari bata yang ditumpuk-tumpuk, berwarna merah dengan dengan sesuatu yang berwarna abu di tepi tiap bata. Bangunan itu kuat sekali. Tidak mungkin bisa mendobraknya. Bangunan di sampingnya tampak berbeda. Bangunan itu terbuat dari kayu-kayu. Dari lantai sampai atap, semua dibuat dari kayu. Rumah di sampingya lagi lebih nampak berbeda, terbuat dari jerami, sisa padi yang ditumbuk menjadi beras. Terlihat lebih banyak celah di sana. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah paling lusuh. Rumah yang terbuat dari jerami itu.
Aku tepat ada di depan gerbang rumah jerami. Gerbanya terbuat dari jerami pula. Aku tidak tau kenapa babi ini terobsesi dengan jerami. Namun, terserahlah, gerbang seperti ini bisa kumasuki bahkan ketika gerbangnya masih digembok. Ternyata benar ada gembok di gerbang rumah babi ini. Gerbang jerami dengan gembok jerami. Kutiup saja gerbang tersebut, seluruh gerbang terbang, terbawa angin ke arah rumah yang ia lindungi. Tepat didepan pintu rumah itu, gerbang itu tidak berbentuk lagi. Tinggal rumah dan isinya. Aku menarik nafas dalam. Dalam sehingga dadaku mengembang dua kali lipat dari sebelumnya. Kutiup rumah itu. Gerbang tidak berbentuk, pintu, dan semua bagian dari rumah itu terbang. Kecuali satu mahluk hidup bernama babi yang ingin ku makan. Terdiam disana. Dibalik rumah jeraminya yang roboh. Dia menatapku dengan wajah ketakutan. Tanpa menunggu aba-aba, aku langsung berlari dengan sigapnya. Menuju santapan pertamaku. Taringku sudah siap, aku melompat, dan kepalaku membesar beberapa kali lipat. Membesar sehingga bisa menerkam seluruh tubuhnya. Terasa kenyal dalam mulutku. Langsung kutelan. Babi pertama sudah masuk ke dalam perutku.
Badanku membesar, telingaku tumbuh melebar,  beberapa bagian dari bulu coklatku berubah menjadi merah muda. Aku terkapar menghadap langit, melihat birunya langit, putihnya awan. Tampak ada 3 awan yang menyerupai babi. Aku memandanginya, memandangi awan itu terbawa angin. Memandangi perubahan salah satu awan itu menjadi bentuk serigala sehingga awan berbentuk babi menjadi dua. Dua babi dan satu serigala. Tidak elegan. Akan lebih baik jika serigala lebih banyak. Aku kesepian. Setelahnya aku menolehkan kepalaku yang terasa berat ke arah kiri. Melihat dua rumah di sana, rumah dengan kayu dan rumah dengan bata, mungkin batu. Tidak mungkin aku bisa meniupnya. Tapi kalau tidak dicoba, maka tidak akan tau kan. Akan ku coba.
Aku kembali ke depan rumah dengan bata, melihatnya didepan gerbang. Sepertinya bukanlah rumah yang bisa kutiup. Lalu berjalan ke depan gerbang rumah yang terbuat dari kayu. Pintu gerbangya terbuka. Beruntungnya aku. Namun rumahnya tertutup rapat. Tidak mungkin aku bisa meniupnya. Kalimat itu terus berulang di dalam pikiranku. Aku berjalan ke kiri kanan bolak balik di halaman rumah itu. Memasukan bagian tanganku ke saku celana. Mengambil bungkus rokok. Meletakannya di sela bibirku. Lalu menyalakan rokok tersebut sambil berpikir. Bagaimana bisa meniup bangunan kayu itu. Rokok terakhirku, hampir habis. Namun tidak satupun ide yang masuk ke kepalaku. Dengan kesalnya rokokku yang masih setengah kulemparkan ke rumah kayu itu sambil mengumpat. “Sial, kayaknya aku harus pulang”. Akupun berjalan menuju gerbang kayu. Pulang dalam kegagalan. Kehabisan cara untuk meniup rumah kayu.
Sesaat setelah melewati gerbang. Terdengar teriakan. Bayanganku terlihat semakin panjang. Semua didepanku terlihat merah. Hingga aku menoleh ke belakang. Semua tampak lebih merah lagi. Api menyelimuti semua bagian rumah kayu. Kupastikan dengan tegas di otakku. Rokokku lah penyebabnya. Sambil tertawa, aku mendengar teriakan “Kebakaraan!!”.  Suara tersebut semakin pelan sampai tidak ada teriakan lagi. Aku menunggu disana. Beberapa menit kemudian api padam. Hanya ada babi panggang di sana. Tanpa melihat suasana lagi. Aku berlari dengan kencang. Melihat babi tersebut sudah didekatku lalu aku melompat. Terasa padaku, bentuk wajahku berubah. Menjadi lebih besar. Beberapa kali lipat. Aku menerkam seluruh badan babi tersebut. Menelannya matang. Menelan babi panggang matang. Badanku sedikit berubah lagi, lubang hidungku menjadi besar. Buluku menjadi merah muda semua. Telingaku nampak semakin besar. Aku terlihat cubi. Iya cubi, gemuk-gemuk gimana. Namun walaupun begitu, satu lagi babi telah masuk ke perutku.
Aku terkapar. Memandangi langit dan melihat awan. Melihat perubahan bentuk awan. Ada tiga awan diatas sana. Dua diantaranya adalah bentuk serigala. Satu yang lainnya adalah bentuk babi. Aku beridiri lagi. Menoleh ke arah kiri dan melihat rumah yang terbuat dari bata itu terlihat sangat tegar. Badanku semakin besar. Mungkin setelah ini aku bisa mendobrak pintu kamar itu. Mendobraknya sehingga pintunya roboh, saat itulah kesempatanku untuk menerkam babi paling kecil. Tanpa melewati gerbang, aku melompati pagar. Lalu berlari sekencang-kencangnya ke arah pintu. Lalu berhenti tepat di depan pintu. Pintu itu terlihat kuat. Begitu juga dengan badanku. Tanpa menunggu lagi, aku mundur. Mundur membuat ancang-ancang. Berlari dengan kencang dan mendobrak pintu itu. Namun sayang seribu sayang. Pintu itu kuat minta ampun. Aku terkapar jatuh. Melihat pintu itu yang seakan dengan arogannya mengatakan. Kamu terlalu lemah serigala. Kamu terlalu lemah. Aku tidak terima.
Setelah melihat betapa kuatnya pintu tersebut. Aku memutuskan untuk tidak memakan serigala paling kecil. Aku menyerah. Nikmati hidupmu babi kecil. Aku pulang.