Hari ini benar-benar cerah. Penuh dengan cahaya matahari
yang bertaburan dengan sebagian isinya merupakan awan. Aku terlentang dibawah pohon. Terlentang menghadap
langit, memandangi langit dan awan. Ada beberapa awan yang berbentuk seperti
paha ayam sehingga membuat rasa laparku terasa hingga akhirnya aku memutuskan
untuk berdiri. Pergi mencari makanan.
Aku menengok ke kiri dan ke kanan, melihat apakah ada
sesuatu yang bisa dimakan. Hingga pada suatu tempat aku melihat 3 babi kecil
yang sedang bermain di taman. Dengan pelan aku mendekati mereka sambil
memikirkan betapa lezatnya daging mereka. Aku terus merangkak. Sampai pada
beberapa meter di depan mereka, salah satu dari tiga babi tersebut berteriak. “Serigalaaaaaa!”
katanya sambil berlari. Dua babi lainnya menoleh dan menatap mataku. Kami saling
melihat. Dua babi gemuk didepanku. Dengan cepat mereka berlari dengan
sekencang-kencangnya. Mereka bertiga berlari ke arah yang berbeda. Hal ini
membuatku berpikir sejenak, babi mana yang harus kukejar terlebih dahulu. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung
mengejar salah satu dari mereka, yang manapun tidak apa lah, yang penting hari
ini bisa makan.
Dengan kecepatan paling tinggi aku mengejar babi paling kecil. Tentu saja aku mengejar yang paling kecil, larinya pasti paling lambat. Dia berlari kencang. Kencang sekali dan tidak menoleh ke belakang sekalipun. Aku berada sekitar 10 meter dibelakangnya. Dia berlari menuju rumah. Rumah yang besar dengan tembok kekar. Dia membuka gerbang, bodohnya, aku akan masuk juga. Kupercepat lariku, dia sudah tidak nampak, berada dibagian dalam rumah dan menutup pintu rumah. Gerbang terbuka namun pintu sudah tertutup. Apa yang bisa kuperbuat saat ini. Apakah aku harus masuk dengan mendobrak pintu.. tidak, hal itu akan nampak tidak elegan. Hingga akhirnya aku mundur beberapa langkah sehingga kembali ke gerbang. Gerbang dari rumah babi paling kecil. Mundur lagi untuk melihat rumah itu, mungkin saja ada celah yang bisa aku masuki. Mundur lagi, sampai tersadar bahwa ada tiga rumah berjejer di sana. Aku tau pasti, dua rumah lainnya pasti milik babi yang lain.
Dengan kecepatan paling tinggi aku mengejar babi paling kecil. Tentu saja aku mengejar yang paling kecil, larinya pasti paling lambat. Dia berlari kencang. Kencang sekali dan tidak menoleh ke belakang sekalipun. Aku berada sekitar 10 meter dibelakangnya. Dia berlari menuju rumah. Rumah yang besar dengan tembok kekar. Dia membuka gerbang, bodohnya, aku akan masuk juga. Kupercepat lariku, dia sudah tidak nampak, berada dibagian dalam rumah dan menutup pintu rumah. Gerbang terbuka namun pintu sudah tertutup. Apa yang bisa kuperbuat saat ini. Apakah aku harus masuk dengan mendobrak pintu.. tidak, hal itu akan nampak tidak elegan. Hingga akhirnya aku mundur beberapa langkah sehingga kembali ke gerbang. Gerbang dari rumah babi paling kecil. Mundur lagi untuk melihat rumah itu, mungkin saja ada celah yang bisa aku masuki. Mundur lagi, sampai tersadar bahwa ada tiga rumah berjejer di sana. Aku tau pasti, dua rumah lainnya pasti milik babi yang lain.
Rumah ketiga babi itu berbeda-beda. Rumah babi terkecil
terbuat dari bata yang ditumpuk-tumpuk, berwarna merah dengan dengan sesuatu
yang berwarna abu di tepi tiap bata. Bangunan itu kuat sekali. Tidak mungkin
bisa mendobraknya. Bangunan di sampingnya tampak berbeda. Bangunan itu terbuat
dari kayu-kayu. Dari lantai sampai atap, semua dibuat dari kayu. Rumah di
sampingya lagi lebih nampak berbeda, terbuat dari jerami, sisa padi yang
ditumbuk menjadi beras. Terlihat lebih banyak celah di sana. Akhirnya aku
memutuskan untuk pergi ke rumah paling lusuh. Rumah yang terbuat dari jerami
itu.
Aku tepat ada di depan gerbang rumah jerami. Gerbanya terbuat
dari jerami pula. Aku tidak tau kenapa babi ini terobsesi dengan jerami. Namun,
terserahlah, gerbang seperti ini bisa kumasuki bahkan ketika gerbangnya masih
digembok. Ternyata benar ada gembok di gerbang rumah babi ini. Gerbang jerami
dengan gembok jerami. Kutiup saja gerbang tersebut, seluruh gerbang terbang,
terbawa angin ke arah rumah yang ia lindungi. Tepat didepan pintu rumah itu,
gerbang itu tidak berbentuk lagi. Tinggal rumah dan isinya. Aku menarik nafas
dalam. Dalam sehingga dadaku mengembang dua kali lipat dari sebelumnya. Kutiup rumah
itu. Gerbang tidak berbentuk, pintu, dan semua bagian dari rumah itu terbang. Kecuali
satu mahluk hidup bernama babi yang ingin ku makan. Terdiam disana. Dibalik rumah
jeraminya yang roboh. Dia menatapku dengan wajah ketakutan. Tanpa menunggu
aba-aba, aku langsung berlari dengan sigapnya. Menuju santapan pertamaku. Taringku
sudah siap, aku melompat, dan kepalaku membesar beberapa kali lipat. Membesar sehingga
bisa menerkam seluruh tubuhnya. Terasa kenyal dalam mulutku. Langsung kutelan. Babi
pertama sudah masuk ke dalam perutku.
Badanku membesar, telingaku tumbuh melebar, beberapa bagian dari bulu coklatku berubah
menjadi merah muda. Aku terkapar menghadap langit, melihat birunya langit,
putihnya awan. Tampak ada 3 awan yang menyerupai babi. Aku memandanginya,
memandangi awan itu terbawa angin. Memandangi perubahan salah satu awan itu
menjadi bentuk serigala sehingga awan berbentuk babi menjadi dua. Dua babi dan
satu serigala. Tidak elegan. Akan lebih baik jika serigala lebih banyak. Aku kesepian.
Setelahnya aku menolehkan kepalaku yang terasa berat ke arah kiri. Melihat dua
rumah di sana, rumah dengan kayu dan rumah dengan bata, mungkin batu. Tidak mungkin
aku bisa meniupnya. Tapi kalau tidak dicoba, maka tidak akan tau kan. Akan ku
coba.
Aku kembali ke depan rumah dengan bata, melihatnya didepan
gerbang. Sepertinya bukanlah rumah yang bisa kutiup. Lalu berjalan ke depan
gerbang rumah yang terbuat dari kayu. Pintu gerbangya terbuka. Beruntungnya aku.
Namun rumahnya tertutup rapat. Tidak mungkin aku bisa meniupnya. Kalimat itu
terus berulang di dalam pikiranku. Aku berjalan ke kiri kanan bolak balik di
halaman rumah itu. Memasukan bagian tanganku ke saku celana. Mengambil bungkus
rokok. Meletakannya di sela bibirku. Lalu menyalakan rokok tersebut sambil
berpikir. Bagaimana bisa meniup bangunan kayu itu. Rokok terakhirku, hampir
habis. Namun tidak satupun ide yang masuk ke kepalaku. Dengan kesalnya rokokku
yang masih setengah kulemparkan ke rumah kayu itu sambil mengumpat. “Sial,
kayaknya aku harus pulang”. Akupun berjalan menuju gerbang kayu. Pulang dalam
kegagalan. Kehabisan cara untuk meniup rumah kayu.
Sesaat setelah melewati gerbang. Terdengar teriakan.
Bayanganku terlihat semakin panjang. Semua didepanku terlihat merah. Hingga aku
menoleh ke belakang. Semua tampak lebih merah lagi. Api menyelimuti semua
bagian rumah kayu. Kupastikan dengan tegas di otakku. Rokokku lah penyebabnya. Sambil
tertawa, aku mendengar teriakan “Kebakaraan!!”. Suara tersebut semakin pelan sampai tidak ada
teriakan lagi. Aku menunggu disana. Beberapa menit kemudian api padam. Hanya ada
babi panggang di sana. Tanpa melihat suasana lagi. Aku berlari dengan kencang. Melihat
babi tersebut sudah didekatku lalu aku melompat. Terasa padaku, bentuk wajahku
berubah. Menjadi lebih besar. Beberapa kali lipat. Aku menerkam seluruh badan
babi tersebut. Menelannya matang. Menelan babi panggang matang. Badanku sedikit
berubah lagi, lubang hidungku menjadi besar. Buluku menjadi merah muda semua. Telingaku
nampak semakin besar. Aku terlihat cubi. Iya cubi, gemuk-gemuk gimana. Namun
walaupun begitu, satu lagi babi telah masuk ke perutku.
Aku terkapar. Memandangi langit dan melihat awan. Melihat perubahan
bentuk awan. Ada tiga awan diatas sana. Dua diantaranya adalah bentuk serigala.
Satu yang lainnya adalah bentuk babi. Aku beridiri lagi. Menoleh ke arah kiri
dan melihat rumah yang terbuat dari bata itu terlihat sangat tegar. Badanku semakin
besar. Mungkin setelah ini aku bisa mendobrak pintu kamar itu. Mendobraknya sehingga
pintunya roboh, saat itulah kesempatanku untuk menerkam babi paling kecil. Tanpa
melewati gerbang, aku melompati pagar. Lalu berlari sekencang-kencangnya ke
arah pintu. Lalu berhenti tepat di depan pintu. Pintu itu terlihat kuat. Begitu
juga dengan badanku. Tanpa menunggu lagi, aku mundur. Mundur membuat
ancang-ancang. Berlari dengan kencang dan mendobrak pintu itu. Namun sayang
seribu sayang. Pintu itu kuat minta ampun. Aku terkapar jatuh. Melihat pintu
itu yang seakan dengan arogannya mengatakan. Kamu terlalu lemah serigala. Kamu terlalu
lemah. Aku tidak terima.
Setelah melihat betapa kuatnya pintu tersebut. Aku memutuskan
untuk tidak memakan serigala paling kecil. Aku menyerah. Nikmati hidupmu babi
kecil. Aku pulang.
No comments:
Post a Comment